Berikutini beberapa karomah Mbah Kholil diantaranya: 1. Melihat berkat di kepala Kiyai Imam masjid. Kiyai Kholil muda dan besetatus sebagai santri, beliau melaksanakan shalat jumat di Pesantren yang beliau tempati, tiba-tiba saat akan melaksanakan takbirotul ikhrom Kiyai Kholil Muda tertawa sangat keras, hingga terdengar seluruh jamaah sholat
- Mbah Ma’shum Lasem, Jawa Tengah, adalah ulama besar yang tindakannya sering sulit dicerna nalar awam. Setelah peristiwanya, barulah orang mengerti apa sesungguhnya yang terjadi. Diperkirakan, Mbah Ma’shum lahir pada tahun 1868. Dia adalah anak bungsu pasangan Ahmad dan Qosimah. Oleh orangtuanya, ia kemudian diserahkan kepada Kiai Nawawi, Jepara, untuk mempelajari ilmu agama, karena sejak kecil telah ditinggal wafat oleh ibunya. Dari Kiai Nawai, ia mendapat pelajaran dasar ilmu alat nahwu yang diambil dari kitab Jurumiyyah dan Imrithi. Pengembaraannya mencari ilmu tidak sebatas di Lasem, melainkan sampai ke Jepara, Kajen Kiai Abdullah, Kiai Abdul Salam, dan Kiai Siroj, Kudus Kiai Ma’shum dan Kiai Syarofudin, Sarang Rembang Kiai Umar Harun, Solo Kiai Idris, Termas Kiai Dimyati, Semarang Kiai Ridhwan, Jombang Kiai Hasyim Asy’ari, Bangkalan Kiai Kholil, hingga Makkah Kiai Mahfudz At-Turmusi, dan kota-kota lain. Bertemu Rasul Diberi Pesan Khusus Suatu saat, di Semarang, beliau tertidur dan bermimpi bertemu Nabi Muhammad SAW. Ketika di Bojonegoro, dia tidak hanya bermimpi, melainkan, antara tertidur dan terjaga bertemu dengan Nabi, yang memberikan ungkapan La khayra ilia fi nasyr al-ilmi, yang artinya “Tidak ada kebaikan yang lebih utama daripada menyebarkan ilmu”. Di rumahnya sendiri, dia bermimpi kembali. Dalam mimpinya, ia bersalaman dengan Nabi Muhammad SAW, yang berpesan, “Mengajarlah, segala kebutuhanmu insya Allah akan dipenuhi semuanya oleh Allah.” Di kemudian hari, Mbah Ma’shum menjadi ulama besar yang dikenal memiliki banyak karamah. Inilah beberapa kisah karamahnya Walisanga Bertamu Ada satu kisah karamah lain yang menunjukkan ketinggian kedudukan spiritualnya. Hari itu datang sembilan orang tamu ke Lasem. Mereka ingin berjumpa dengan Mbah Ma’shum. Namun, karena tuan rumah sedang tidur, Ahmad, seorang santrinya, menawarkan apa perlu Mbah Ma’shum dibangunkan. Ternyata mereka menolak. Lalu mereka semua, yang tadinya sudah duduk melingkar di ruang tamu, berdiri sambil membaca shalawat, kemudian berpamitan. “Apa perlu Mbah Ma’shum dibangunkan?” tanya Ahmad sekali lagi. “Tidak usah,” ujar meÂreka serempak lalu pergi. Rupanya saat itu Mbah Ma’shum mendusin dan bertanya kepada Ahmad perihal apa yang baru saja terjadi. Setelah mendapat penjelasan, Mbah Ma’shum minta kepada Ahmad agar mengejar tamu-tamunya. Tapi apa guna, mereka sudah menghilang, padahal mereka diperkirakan baru sekitar 50 meter dari rumah Mbah Ma’shum. Ketika Ahmad akan melaporkan hal tersebut, Mbah Ma’shum, yang sudah bangun tapi masih dalam posisi tiduran, mengatakan bahwa tamu-tamunya itu adalah Walisanga dan yang berbicara tadi adalah Sunan Ampel. Setelah mengucapkan kalimat terseÂbut, Mbah Ma’shum tertidur pulas lagi. Beras Melimpah Di depan para cucunya, Mbah Ma’shum memimpin pembacaan istighatsah dan membaca potongan syair Al-Burdah yang artinya, “Wahai makhluk paling mulia Muhammad, aku tak ada tempat untuk mencari perlindungan kecuali kepadamu, pada kejadian malapetaka nan besar nanti.” Syair tersebut dibaca 80 kali, dilanjutkan dengan doa sebagai berikut “Ya Allah, orang-orang yang ada dalam tanggungan kami sangat banyak, tetapi beras yang ada pada kami telah habis. Untuk itu kami mohon rizqi dari-Mu.” Selain mengamini, Nadhiroh, salah seorang cucunya, berteriak, “Mbah, tambahi satu ton.” Ditimpali oleh Mbah Ma’shum, “Tidak satu ton, tepi lebih….” Beberapa hari kemudian, beras seolah mengalir dari tamu-tamu yang datang dari berbagai kota, seperti Pemalang dan Pasuruan, ke tempat Mbah Ma’shum. Masih soal beras. Pada kali yang lain, setelah mengajar 12 santrinya lalu diikuti dengan membaca Alfiyah, Mbah Ma’shum minta mereka mengamini doanya, karena persediaan beras sudah habis. “Ya Allah, Gusti, saya minta beras….” “Amin…,” ke-12 santri itu, yang ditampung dan ditanggung di rumah Mbah Ma’shum, khidmat menyambung doanya. Jam sebelas siang, datang sebuah becak membawa beberapa karung beÂras. Tanpa pengantar, kecuali alamat ditempel di karung-karung beras itu. Di sana tertera jelas, kotanya adalah Banyuwangi. Kepada santrinya yang bernama Abrori Akhwan, Mbah Ma’shum minta agar mencatat alamat yang tertera di karung itu. Suatu saat ketika berkunjung ke Banyuwangi, Mbah Ma’shum bermaksud mampir ke alamat itu. Saat alamat tersebut ditemukan, tempat itu ternyata kebun pisang yang jauh di pedalaman. Ironisnya, masyarakat di sana hampir-hampir tak ada yang kelebihan rizqi. Lalu siapa yang mengirim beras? Dua Tahun Lagi Saya Menyusul “Seandainya Paman wafat pada hari ini, saya akan menyusul dua tahun kemudian,” demikian reaksi Mbah Ma’shum ketika mendengar kabar bahwa pamannya, Kiai Baidhowi, meninggal hari itu, 11 Desember 1970. Bahkan ucapan itu ditegaskan sekali lagi langsung di telinga almarhum ketika dia menghadiri pemakamannya, “Ya, Paman, dua tahun lagi saya akan menyusul”. Mbah Ma’shum tutup usia pada 28 Oktober 1972 atau 12 Ramadhan 1332, sepulang dari shalat Jum’at di masjid jami’ Lasem, tak jauh dari rumahnya. Persis seperti ucapannya, menyusul dua tahun setelah pamannya wafat. Mengajar atau Menolong Orang juga “Dzikir” Kisah lain, sambil memijit badan Mbah Ma’shum, Abrori Akhwan, yang kala itu, awal dekade 1960-an, masih menjadi santri di pesantren Mbah Ma’shum, Al-Hidayat, dalam benaknya terlintas pertanyaan, kenapa Mbah Ma’shum tak pernah menggunakan peci haji atau sorban bila keluar rumah, tidak pernah berdzikir dalam waktu yang lama, dan tidak banyak kitab kuning di rumahnya. Pikiran itu rupanya terbaca oleh Mbah Ma’shum. Tak lama kemudian, ia berujar, “Seorang kiai tidak harus mengÂgunakan peci haji atau sorban. Berdzikir’ kepada Allah bisa dilakukan langsung secara praktek, seperti misalnya kita mengajar atau menolong orang, tidak harus dalam waktu lama dengan bebeÂrapa bacaan tertentu. Kitab kuning sebenarnya banyak, tapi dipinjam oleh Ali, anak sulungku.” Insya Allah akan Kembali Kacamata Hilang Ketika dalam perjalanan silaturahim ke Jawa Tengah dan Jawa Timur, Mbah Ma’shum kehilangan kacamata di kereta api yang tengah meluncur, antara Tegal dan Pekalongan. Menyadari hal itu, ia kemudian mengajak para pengikutnya membaca surah Adh-Dhuha. Dan ketika sampai ayat wawajadaka dhaallam fahada, ayat tersebut dibaca delapan kali. “Dengan membaca surah tersebut, insya Allah barang kita yang hilang akan kembali. Setidaknya Allah akan memberikan ganti yang sesuai,” katanya kemudian. Ketika rombongan mampir ke rumah Kiai Faturrahman di Kebumen, Mbah Ma’shum melihat sebuah kacamata di lemari kaca tuan rumah, persis miliknya yang hilang. Dengan spontan ia berkata, “Alhamdulillah.” Kepada Faturrahman, ia bertanya, “apa ini kacamata saya?” Dijawab Kiai Faturrahman dengan terbata-bata, “ya mungkin saja, Mbah….” Kemudian kacamata itu diambil dan dipakai oleh Mbah Ma’shum. Kendaraan Soal Belakang Kali ini soal dokar. Santri yang mengawal Mbah Ma’shum kebingungan. SeÂtelah Maghrib, sudah menjadi kebiasaan, dokar di daerah Batang, Pekalongan, tidak akan ada yang berani keluar keÂcuali kalau dicarter. Namun Mbah Ma’shum berkata, “Shalat dulu, kendaraan soal belakang.” Ketika itu rombongan Mbah Ma’shum sudah sampai di sebuah mushalla, maka shalatlah mereka secara berjama’ah. Bahkan dilanjutkan hingga shalat Isya. Setelah semua selesai, rombongan pun melanjutkan perjalanan. Dan, tanpa diduga, begitu rombongan keluar dari halaman mushalla, lewatlah sebuah doÂkar kosong. Mereka pun menaikinya. Subhanallah. [ Source Majalah Alkisah No. 26/Tahun VII, dimuat juga di
Meskiditulis semenjak tahun 1955, namun sampai sekarang masih dapat terbaca dengan jelas. Tafsir Al-Ibriz, karya monumental KH. Bisri Musthofa khot-nya (tulisan arab) menurut pengakuan KH. Sya'roni Ahmadi, kawan seperguruannya saat mengaji kepada Kyai Arwani Kudus juga buah karya Kyai Nawawi yang asli Tulusrejo, Grabag Kutoarjo, Purworejo ini.
Yogyakarta – Di suatu wilayah yang bercuaca dingin, tepatnya di lereng Gunung Sumbing, terdapat sebuah desa bernama Wonoroto, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang. Di sana terdapat sebuah makam waliyullah asli kelahiran Desa Wonoroto, Magelang, yakni Syekh Muhammad Rohmat Amin atau Mbah Rohmat beliau kerap didatangi beberapa peziarah. Puncaknya setahun sekali setiap akhir bulan Zulkaidah, ribuan orang dari berbagai daerah dari wilayah Magelang dan sekitarnya hadir memperingati haul bisa demikian orang menghormati Mbah Rohmat? Karena beliau terkenal sebagai waliyullah yang memiliki banyak karomah. Salah satunya adalah lumpuh puluhan tahun tanpa cerita yang masyhur, semasa hidup beliau oleh Allah Swt dikaruniai sakit lumpuh sejak umur 25 tahun hingga beliau Masa Kecil dan Masa Muda Mbah RohmatDikutip dari tulisan Fahmi Ali, sejak kecil Mbah Rohmat Wonoroto hidup penuh keprihatinan. Ketika masih kanak-kanak, ayah beliau, Mbah Muhammad Amin diperintah mertuanya untuk transmigrasi ke Lampung mengikuti jejak mertuanya yang sukses di itu sebetulnya Mbah Amin enggan untuk transmigrasi, namun untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan akhirnya beliau memutuskan untuk berangkat bersama istri dan 2 anaknya yang masih kecil, termasuk Mbah Rohmat dan anak yang masih dalam kandungan di terminal Magelang Mbah Amin pamit ke istrinya untuk membeli makanan ringan sambil mengajak Mbah Rohmat ternyata Mbah Amin tidak kembali bergabung bersama istrinya untuk menuju Amin menggendong mbah Rohmat kecil menyelinap keluar terminal berjalan berhari-hari tanpa tujuan. Berjalan sambil menggendong mbah Rohmat yang masih hari beliau hanya minum air hujan dan bahkan setiap ada makanan pemberian orang beliau kasihkan ke Mbah Rohmat perjalanan beliau sampai di Desa Sukomarto, Kecamatan Jumo, Kabupaten Temanggung. Kemudian perjalanan berlanjut kembali ke desa Wonoroto sampai genap 2 sinilah Mbah Rohmat hidup bersama ayahnya secara pas-pasan hingga 25 tahun kemudian baru bertemu ibu serta saudara-saudara muda Mbah Rohmat sudah memperlihatkan keistimewaannya. Meski kondisi kaki sakit-sakitan, beliau dikenal sebagai santri yang rajin pergi berguru ke ulama-ulama sekitar Magelang dengan berjalan antara guru beliau adalah Kyai Sujud, Kyai Darwi, Kyai Kholil dan Kyai Darsin. Kyai Darsin sendiri adalah santri Mbah Maksum Lasem. Melalui Kyai Darsin inilah Mbah Rohmat mendalami ilmu agama dengan banyak mengkaji demikian sanad keilmuan Mbah Rohmat sampai ke Mbah Maksum Lasem. Sedangkan untuk jalur thariqah beliau mengikuti Thariqah muda Mbah Rohmat juga dikenal gemar berziarah ke makam-makam auliya’ wilayah Magelang. Beliau berziarah dengan berjalan kaki meski dalam kondisi tujuan ziarah masih di sekitar desa Wonoroto beliau kerap mengajak anak anak kecil dengan iming-iming mencari itu beliau lakukan untuk mengenalkan generasi muda tradisi ziarah agar kenal kepada leluhur. Maka tidak heran jika banyak yang ziarah ke makam beliau setelah Tentang Karomah Mbah RohmatKaromah beliau mulai terlihat ketika Mbah Rohmat Wonoroto mulai membuka majelis pengajian. Pada saat itu adalah masa paling menyedihkan. Saat itu adalah masa-masa awal kelumpuhan beliau, yaitu ketika beliau berumur 25 santri dan keluarga kebingungan bagaimana cara merawat beliau karena setiap kali disentuh beliau mengaduh kesakitan. Pada masa awal-awal kelumpuhan ini beliau masih sering minta tolong santri untuk buang air kecil atau buang air besar, itupun beliau lakukan 2 minggu 2 tahun berjalan, beliau sama sekali tidak buang hajat selama puluhan tahun sampai beliau wafat. Kabar sosok beliau sebagai kyai muda, alim namun lumpuh itu lambat laun mulai terdengar seiring berjalannya waktu santri beliau pun semakin banyak, hingga akhirnya beliau mendirikan mendirikan Pesantren Darul Muhtadin Wonoroto sekitar tahun juga oleh salah satu santri kinasih beliau, kyai Nur Qomar dari Desa Kentengsari, Kecamatan Windusari, Kabupaten dalam keadaan tidak bisa berdiri beliau mampu mangambil kitab-kitab di rak sekitar beliau dengan sangat mudah layaknya manusia normal hanya menggunakan tongkat Bambu kecil menggunakan tongkat bambu tersebut sambil tiduran dan kitab yang diinginkan sudah pasti jatuh di dada beliau. Setelah selesai dibaca kitab tersebut juga dikembalikan menggunakan tongkat bambu yang lain diceritakan oleh KH. Thoifur Mawardi Purworejo, ketika mengisi haul beliau. Kyai Thofur diberitahu tentang ke-ta’ajub-an Mbah Maemun Zubair Sarang Rembang pada Mbah mendengar kabar tentang Mbah Rohmat, Mbah Maemun bersilaturahmi ke kediaman Mbah Rohmat. Sesampainya di depan pintu, sebelum Mbah Maemun mengucap salam, Mbah Rohmat sudah mempersilahkan beliau posisi Mbah Rohmat di dalam kamar dan tidak ada yang memberitahukan kehadiran Mbah lainnya dalam tulisan M. Abdullah Badri yang dilansir oleh saat santri sedang renovasi rumah dan pesantren, beliau bisa memerankan diri sebagai pengawas renovasi yang atas kasur, sambil tiduran beliau mengingatkan tukang bahwa pengerjaannya kurang pas dan lain sebagainya. Sesekali santri juga dipanggil untuk diberi arahan renovasi, padahal beliau sama sekali tidak melihat sketsa bangunan yang sedang semua renovasi rampung kecuali atap rumah mbah Rohmat, santri segan mengutarakan maksud renovasi atap, karena menurut santri merupakan su’ul adab jika menaiki atap yang di bawahnya terdapat kyai yang sedang berbaring santri matur, mbah Rohmat menjawab,“Gimana, mau merenovasi atap? Tidak apa-apa nanti saya pakai selimut.”Kemudian santri mulai memanjat, namun anehnya ketika santri-santri sampai atap ternyata mbah Rohmat sudah tidak ada di pembaringan seperti hilang ditelan beberapa karomah Mbah Rohmat Wonoroto. Masih banyak sekali karomah beliau dari cerita-cerita masyarakat sekitar. Banyak sekali masyarakat sekitar yang datang semasa beliau hidup untuk meminta doa dan besar orang yang pernah sowan ke beliau juga mengatakan meski beliau tidak pernah ke toilet untuk mandi atau buang hajat namun beliau sama sekali tidak berbau badannya dan wajahnya pun terlihat bersinar. Padahal beliau juga minum-minum layaknya manusia pada umumnya.
KyaiSholeh Darat. Muhammad Shalih bin Umar (1820 M), yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai Shaleh Darat, adalah seorang ulama besar pada zamannya. Ketinggian ilmunya tidak hanya bisa dilihat dari karya-karya monumental dan keberhasilan murid-muridnya menjadi ulama-ulama besar di Jawa, tetapi juga bisa dilihat dari pengakuan penguasa Mekkah
Assalamualaikum wr wb..Ini sedikit kilasan cerita seorang Kyai lakudalam perjalanan hidup ruhani/jasmani yg memang terjadi,kejadian ini berawal saat awal2 tragedi sampit..Mohon maaf gak ada maksud sara,dan juga jgn dikomentari kearah sara, maupun apalah yg menyinggung,sedikit kisah ini hanya sebagai kilasan gambaran bagaimana seharusnya bersikap arif dan yg utama iklas walau nyawa taruhannya..Sosok kyai ini sampai sekarang masih ini berawal saat beliau mendapatkan sejenis ilham atau isyarat atau apalah yg membuat beliau gundah dan bisa gak bisa harus beliau lakukan yaitu ke keyakinan ini beliau pamit sama bapaknya yg sudah renta dan juga pamit sama anak/istrinya dan seluruh santrinya yaitu pamit pati dalam artian kalau dalam 3 minggu gak pulang berarti sudah meninggal..saat pamit bapaknya yg memang hanya dia yg masih hidup, bapaknya melarang dan marah …Untuk apa km kesana itu kan tugas aparat untuk mengamankan..apa km lupa bagaimana dulu awal2 ponpesmu berdiri bagaimana kelakuan aparat ke kamu dan ponpesmu. siapa yg nyuruh km ..Lanjut bapaknya, apa jawab beliau, dgn singkat katasaya di suruh ALLAH .akhirnya dgn iklas bapak,anak/istrinya,santri2nya melepas beliau dgn tangisan dan doa..gak maksud apa memang kenyataanya cerita beliau sampai di daerah konflik antara d dan m..dari ilham yg di terima beliau akhirnya sampai di suatu dimana desa itu mayoritas suku M ..dan di kampung itu ada ponpes tak di nyana tak di duga ternyata pengasuh ponpes itu adik ngaji saat di itu begitu yg sangat mengkawatirkan di kampung itu terus berusaha bertahan dari serangan orang2 D ,padahal kampung itu gak tahu menahu akan permasalahan antara D dan M .mungkin karena mayoritas M ikut jg di jadikan beliau kasih saran usahakan perempuan dan anak kecil di keluarkan/ pembaca tahu padahal di kampung itu jg banyak keturunan M dan D yg sudah berbaur jd suami susah payah mengeluarkan perempuan/anak kecil akhirnya pembaca semua tahu arti ritual mangkuk merah khan..Kalo mangkok merah sudah masuk ke suatu daerah/kampung pasti disitu para prajurit2 D sudah siap untuk perang dan disusupi kekuatan tahu akan mangkok merah..Beliau berinisiatif untuk mencegah akhirnya beliau minta di sediakan kamar khusus..Beliau pun berdzikir .dari yg saya tahu ternyata beliau berusaha menghalau pasukan2 gelap leluhur yg berusaha di susupkan ke pemuda maupun masyarakat yg mayoritas D yang padahal mayoritas muslim juga di desa segenap karomah beliau,beliau jg mengerahkan beberapa kekuatan kerajaan jin muslim dr martapura dan 9 jagoan jin mu[email protected] beliau dr alas ketonggo,mereka perang untuk mengusir sawab kekuatan ritual mangkok merah yg masuk ke desa D itu yg membawa ribuan pasukan gelap gagal dan pasukan2 gelap pun gak jadi menyusup ke pemuda2 D yg siap perang .mungkin BOLOSAMARpernah dengar gagalnya mangkok merah masuk ke beberapa desa .akhirnya beliau langsung terjun ke lapangan untuk menemui tokoh2 D yang sebenarnya jg beragama islam,dgn pertemuan itu akhirnya tokoh2 D yg muslim sadar bahwa sesama muslim adalah dr tokoh2 D muslim beliau bertemu tetua adat di beberapa desa yg mayoritas D .akhirnya kesepakatan damai di capai dan tdk ikut ikutan dgn kekisruhan antara suku D+mel dan M karena sudah di tunggangi berjasa mendamaikan beberapa desa beliau jg di angkat oleh tetua adat sebagai saudara dan di beri penghargaan tinggi dr tokoh2 desa D dan M yg awalnya 5 pusaka dayak pemberian tanda persahabatan sampai sekarang masih di hanya sedikit kisah nyata yg di alami seorang kyai yg melakukan hal yg tanpa pamrih dan demi kedamaian sesama boloKHODAM SAKTI ini hanya gambaran untuk kita senantiasa hidup dalam tolong menolong tanpa pamrih dan penuh keikhlasan. dan memang nama beliau sengaja saya rahasiakan takut di jewer saya.. ada kata maupun ucap yg salah mohon di kita semua dan seluruh umat muslim selalu di jaga dr fitnah Dajjai akhir jaman. Amien.. Mabes Laskar Khodam Sakti Jl. Elang Raya , Gonilan, Kartasura Solo, Jawa tengah WA +6285879593262
Semasahidup, Kyai Ahmad Siroj tidak pernah mengaku sebagai seorang waliyullah secara pribadi. Namun, banyak orang mengakui kewalian almarhum beserta karomahnya. Contoh di atas hanyalah sebagian karomah yang dimiliki Kyai Ahmad Siroj untuk membuktikan kewalian almarhum. Tentu saja masih banyak karomah lain yang belum terungkap di sini.
Ulusalam kulonuwun assalaamualaykum. Rahayuu, Terimakasih yang sebesar2nya kepada Mimin, Momod, para pinisepuh Forsup, para senior, serta rekan-rekan Kaskuser tercinta yang tanpa
Sedangkankyai Hasan Bisyri sendiri pingsan, dan kyai Aziz meninggal. Lewat isyarat yang diterima oleh kyai Mukhtar, temanku disuruh cepat-cepat menemuiku untuk menceritakan sebenarnya. Hari itu juga aku berangkat menuju kelokasi yang menjadi melapetaka. Singkat cerita, lewat batu merah delima dari pemberian Kanjeng Abi Syekh Syarif
Namunada yang yang menarik ketika Gus Dur berziarah kesuatu makam, kata Kang Said. "Kalau ada makam yang diziarahi Gus Dur, pasti kemudian makam itu ramai diziarahi orang. Gus Dur memang tidak hanya memberkahi orang yang hidup, tapi juga orang yang sudah mati," katanya disambut tawa hadirin. (nam) (sumber 1 , sumber 2) 2.
Pondokinilah yang menjadi cikal bakal dari Pondok Modern Gontor saat ini. Sebenarnya ada banyak versi soal sosok Kyai Hasan Besari. Karena keterbatasan literatur, dari sumber-sumber sesepuh di Desa Tegalsari yang masih hidup. Dan dari kumpulan cerita masyarakat bila diuraikan kisahnya menjadi demikian:
sAaF. rgcv4fls2d.pages.dev/150rgcv4fls2d.pages.dev/462rgcv4fls2d.pages.dev/359rgcv4fls2d.pages.dev/310rgcv4fls2d.pages.dev/411rgcv4fls2d.pages.dev/401rgcv4fls2d.pages.dev/214rgcv4fls2d.pages.dev/229
kyai karomah tinggi yang masih hidup